Hobi Admin salah satunya adalah membaca dan menulis. Kali ini Admin akan berbagi karya cerita pendek yang dirangkai dalam bentuk tulisan online. Karya tulis yang Admin tulis ini berdasarkan kisah nyata, pengalaman pribadi yang sudah pernah dialami. Berikut ini adalah hasil karya cerpen Admin, semoga bisa menginspirasi bagi pembaca :-)
========================================================================
Sekian lama aku menunggu selama 3 tahun berharap segera
lulus dari Sekolah Menengah Keatas (SMK), sehingga membuatku berpikir
kedepannya supaya segera mencari dan mendapat pekerjaan guna membantu dan
meringankan beban kedua orang tua saya. Kisaran 2-3 minggu setelah ijazahku
keluar, sesegera mungkin saya terus mencari lowongan pekerjaan. Dari Barat ke
Timur dari Utara ke Selatan namun tak kunjung jua kutemukan. Dari situlah saya
merasa bahwa mencari pekerjaan itu tidak mudah. Alhamdulillah, satu bulan
kemudian setelah kelulusanku, akhirnya ada satu perusahaan yang menelepon saya
untuk wawancara dan bersyukur lagi karena saya langsung diterima serta langsung
dipekerjakan besok paginya.
Baru pertama kali saya kerja, hati sangat bahagia banget,
sehingga membuatku juga semakin semangat dalam beribadah dan bersyukur
kepada-Nya. Tempat kerja tidak terlalu jauh dari rumah, sangu untuk transportasi dan makan siang sayapun pasti lebih hemat.
Siang itu saat di tempat kerja, saya sedang santai meminum kopi hangat untuk
tombo mata saya agar betah melek
dalam beraktivitas, begitulah kata orang jawa. Hhehehe...
Baru pertama kali kerja, saya di tempatkan pada bagian
gudang, dimana saya diberi tugas (amanah)
untuk mengatur dan menghitung stock
barang masuk dan keluar. Belum ada dua minggu, saya dikagetkan oleh kedatangan
satu truk yang sudah kuduga, “pasti
ngirim barang”, ternyata beneran. Masih belum berhenti dari situ, ternyata
ada satu truk lagi yang sama persis baru datang masuk dari pagar depan.
“Waaduuuuh, pulang jam berapa kalau jam segini masih ada
barang datang!?” keluh saya dalam hati.
“Permisi mas, mau kirim barang, apa benar ini alamatnya?”
tanya si supir truk.
“Iya mas, betul betul betul.” Jawabku bercanda seperti Upin Ipin.
Rekan-rekan pak sopir turun untuk memberi aba-aba dalam memposisikan
pintu truknya supaya ditepatkan pada pintu masuk gudang kantor saya.
“Permisi mas, boleh saya lihat surat nota kirimannya mas?”
tanyaku kepada si supir.
“Ini mas” dengan cekatan si supir memberikan nota
kirimannya.
“Waaoooww, apakah beneran sebanyak ini kiriman barangnya?”
tanyaku dari dalam hati.
Barang datang dari luar kota sebanyak 1.000 karton yang per
kartonnya adalah seberat 2,5 liter. Saya pun sebagai checker segera memeriksa dan menghitung kembali barang-barang yang
turun dari truk pengiriman untuk dipindahkan ke tempat gudang pekerjaan saya.
“Silahkan mas lewat sini, mohon
hati-hati saat memindahkan barangnya kedalam gudang, karena jalannya sempit
mas” tutur saya kepada seorang pengirim yang sedang mengangkat barang.
Disaat saya sedang fokus untuk menghitung barang yang turun
dari truk secara perlahan, tiba-tiba terbayang dalam lubuk hati saya bahwa
pekerjaan yang mereka lakukan ini adalah membutuhkan tenaga yang luar biasa.
Selalu saya amati mereka saat itu, mereka kompak, mereka bekerjasama dengan
baik, tidak ada kata iri, gengsi saat bekerja dan selalu bisa untuk diajak
saling tukar posisi apabila benar-benar sedang kesusahan.
“Gubraakk!!!...” suara barang yang jatuh dari dalam gudang.
“Apa itu?” dengan perasaan kaget, sayapun langsung
menghampiri asal suara tersebut.
“Ya Allah, bapak tidak apa-apa? Sudah pak tidak apa-apa,
mari saya bantu pak.” sambil menenangkan hati si bapak yang pasti merasa
bersalah karena sudah menjatuhkan barang kirimannya saat sedang digotong
kedalam gudang, sayapun langsung menyuruh si bapak untuk beristirahat sejenak.
Dengan segelas air mineral yang saya bawakan untuk
menghilangkan dahaga si bapak, beliau langsung meminumnya, Dalam hitungan tidak
sampai lima detik, airnya langsung habis.
Terbayang dalam benakku “coba
saya ada pada posisi beliau saat ini, akankah ada orang yang mau menolongku? Seberapa
susahnya juga beratnya dalam menggotong barang-barang kirimannya ini”
“Bapak tidak apa-apa? Bapak baik-baik saja kan?” tanyaku
kepada si bapak.
“Alhamdulillah nak, bapak rapopo. Suwun loh nak wes
disukani banyu putih” jawab si bapak dengan bahasa krama Jawa. Hati saya langsung
bergetar, bulu ditangan saya pun ikut merinding setelah sedikit bercakap dengan
si bapak.
Akhirnya pun saya memutuskan menaruh buku beserta pulpen
saya didasar tanah, sesegera mungkin membantu mengambil barang kirimannya untuk
dipindahkan kedalam gudang. Dengan semangat, saya pun langsung menggotong empat
karton berturut-turut. Tidak lama kemudian, baru saja saya memindahkan 32
karton dari truk ke dalam gudang, saya sudah mengeluh.
“Wiih, ternyata berat, susah juga ya kerja pengiriman
barang itu...” Keluh saya dalam hati
“Kenapa mas?” tanya salah seorang yang tetap diatas truk
untuk menumpuk barang yang mau digotong oleh rekan-rekannya.
“Capek mas...” seru saya dengan bercanda dan tersenyum.
Tiba-tiba orang tersebut menghampiriku dengan membawa dua kali lipatnya barang
kiriman yang saya gotong. Sesegera mungkin saya minggir dikarenakan jalan gudang
yang sempit.
“Mas, tolong sampean saja yang nyiapkan barangnya. Kita
saja yang menggotongnya” seru orang tersebut dengan logat bahasanya kepada saya
yang menawarkan ganti posisi dalam membantu.
“Oke masbro” sahut saya.
Waktu terus berjalan, sehingga matahari pun sudah mulai
terlihat semakin terbenam. Semua masih semangat dalam melaksanakan tugas
pekerjaannya masing-masing. Pekerjaan yang saya lakukan kali ini bisa dikatakan
lembur, dikarenakan sudah melewati batas waktu operasional jam kerja. Saat sedang
asyik menyiapkan barang, saya dikagetkan oleh kedatangan bos (atasan) kerja
saya yang datang ke kantor.
“Kok tumben sih bu Oni datang jam segini dikantor?” keluh
saya dalam hati,
Bu Oni adalah atasan kantor saya, beliau memiliki Sayapun
akhirnya langsung turun dari atas truk untuk kembali pada posisi saya dalam
profesi bekerja. Ketika sudah turun dari atas truk, saya kebingungan mencari
buku dan pulpen yang awalnya tadi saya taruh didasar tanah, kok tiba-tiba tidak
ada.
“Selamat sore semuanya” sapa atasan saya kepada semua
karyawannya.
“Sore juga bu” sahut semua orang yang ada disekitar.
“Ada yang bisa saya bantu bu?” ucap saya.
“Tidak ada Udin, terima kasih. Ini barangnya belum selesai
dipindahkan?” kata atasanku.
“Oh iya bu, ini masih proses, tinggal beberapa karton
barang saja kok bu” sahutku.
“baik, sesegera mungkin di cek lagi ya Udin barang turunnya
apa sesuai dengan nota kirimnya!?” perintah ibu pimpinan kerja.
“Siap bu Oni.” sahut saya.
Hari mulai senja, matahari pun sudah mulai bersembunyi di
ufuk sebelah barat, sehingga terdengarlah suara radio Syi’ir Gus Dur - Tanpo
Waton pada tiap-tiap masjid maupun mushola, pertanda waktu sholat Mahgrib telah
tiba, sesegera mungkin saya bergegas untuk membereskan gudang yang sedikit
berserakan, setelah itu barulah saya naik kelantai atas untuk check-lock sebelum meninggalkan gudang
kantor.
Hari demi hari selalu kujalani dengan penuh rasa percaya
diri dan semangat. Apalagi saat itu adalah Bulan Suci Ramadhan, dimana semua
umat Muslim beriman diwajibkan atas puasa. Akan tetapi, pernah saya berpikiran
kurang baik akan hal tersebut, karena pekerjaan saya yang tidak memungkinkan keadaan
saya untuk bisa bertahan menahan hawa nafsu, makan dan minum dari fajar hingga
terbenamnya matahari.
Hingga pada waktu itu, mengeluhlah saya dan memilih curhat
untuk mendapatkan solusi supaya saya tidak terpuruk dalam keadaan hati yang
kurang bersyukur. Waktu itu saya sholat tarawih di Masjid At-Tinah, disitulah
guru saya mengajar ngaji. Seringkali saya mengamati beliau waktu di Masjid,
bahkan sampai sholatpun, saya memilih untuk berada pada shaf belakangnya
beliau. Setelah sholat, saya mencari waktu dan tempat yang tepat supaya bisa
mengobrol enak dan nyaman bersama beliau.
“Assalamu’alaikum mas Syarifuddin.. Alhamdulillaaah” sapaku
kepada beliau sambil tersenyum.
“Wa’alaikumussalam Din, Alhamdulillah kenapa Din, kok
sepertinya senang kamu hari ini?” sahut beliau.
“Nggeh Alhamdulillah mas Syarifuddin saya bisa Sholat Tarawih jama’ah disini malam ini,
Hhehehe” jawab saya sambil tertawa.
“Loh, emang kenapa Din? Apa kamu tidak pernah Sholat
Tarawih jama’ah sebelumnya?” jawab guru saya dengan rasa penasaran.
“Anu mas, bukan itu maksud saya, kalau Sholat Tarawih
Alhamdulillah selalu jama’ah di masjid manapun saya berada mas, cumaaan, saya
sih inginnya ikut sholat jama’ah disini juga mas, sekalian silaturahmi” sahut
saya dengan senyuman.
“Oh gitu toh, ya dibagi waktunya Din, yang penting sholat.
Bagaimana pekerjaanmu Din, lancarkan?” tanya guru saya.
(Alhamdulillah, kok pas gini padahal saya mau curhat
ternyata ditanya terlebih dahulu) dalam hati saya.
“Alhamdulillah seperti itulah mas, datang pagi sebelum pukul
07.30 WIB harus sampai disana, kalau terlambat gaji saya dipotong mas, belum
lagi waktunya itu sampai jam 17.00 WIB, kan terlalu dekat dengan Maghrib,
itupun juga belum capeknya mas terkadang angkat-angkat barang juga disana
sehingga terkadang membuat saya lalai dalam beribadah mas” keluh saya kepada
beliau
“Pekerjaanmu mungkin cukup sulit dan cukup menguras tenaga.
Tapi kamu tau tidak? Bahwa diluaran sana masih banyak bahkan sangat banyak
orang yang berharap berada diposisi kamu
saat ini. coba renungkan, lihat mereka
yang berjualan makanan ringan diperempatan lalu lintas, lampu merah adalah
suatu hal yang selalu ditunggu-tunggu oleh mereka, supaya sesegera mungkin mereka
menawarkan makanan ringan yang mereka jual untuk yang menghasilkan uang, terik
panas matahari bukan suatu halangan bagi mereka, karena niat mereka lebih kuat
ketimbang rasa mengeluh dalam dirinya. Begitulah cara mereka mencari nafkah.
Belum lagi mereka yang bertempat tinggal dipinggir kali atau sungai, rumah
mereka yang kebanyakan beralas tanah liat, atap yang terbuat dari kayu triplek,
asbespun yang mereka pasang terkadang bekas. Masih banyak dan sangat banyak
orang yang berharap berada diposisi kamu
saat ini sekarangi.” Ujar guru saya yang dengan panjang lebar dan penuh sabar
memberikan pencerahan.
Saya pun hanya terdiam, terisak hati saya, menjadi
deg-degan, tersentuh dengan kata-kata beliau. Sehingga timbul rasa sesal
terhadap diri saya pribadi karena saya enggan bersyukur melainkan sering mengeluh daripada bersyukur.
“Bolehlah kita memandang seseorang yang diatas kita untuk
motivasi kita untuk menggapai cita-cita, akan tetapi jangan lupa untuk melihat
yang ada dibawah kita, supaya kita lebih
cenderung bersyukur terhadap apa yang telah diberikan oleh-Nya kepada kita”
sahut beliau secara langsung kepada saya.
Perbincangan kami cukup lama, hampir 2 jam dan saya tidak
menyadari itu. Rasanya adem-ayem hati ini setelah mendengar cerita atau
tausiah, motivasi yang diberikan beliau kepada saya.
“Ikhtiar, sabar,
syukur, ikhlas dan tawakkal itu harus kita biasakan dalam kehidupan ini.
Ketika kita berusaha, selalu iringi dengan doa dalam hati (ikhtiar), dalam usaha tersebut bagaimanapun keadaannya harus kita sabar dan bersyukur, dengan begitu diri kita akan terbiasa ikhlas, dengan ikhlas, Allah akan ridho,
setiap usaha kita akan dijadikan pahala oleh-Nya, setelah itu kita harus
berserah diri kepada Allah (tawakkal)
apapun hasilnya. Allah sesuai dengan prasangka hamba-Nya dan Innallaha ma’asshobiriin Allah bersama
orang-orang yang sabar” tambahan dari beliau.
“Ya sudah, ayo kita tadarusan Din !?” sahut beliau mengakhiri obrolan
kami berdua dengan mengajak tadarusan (baca Al-Qur’an seusai Sholat Tarawih)
Setelah berbagai motivasi yang beliau sampaikan, entah kenapa
kok tiba-tiba dalam benakku muncul keinginan untuk blusukan jalan-jalan di
perkampungan pinggir pantai. Sehubungan dengan pulang kerja ke rumah adalah searah
dengan pesisir pantai (Kenjeran Watu-Watu), saya pun memutuskan untuk berhenti
sejenak di daerah pesisir tersebut. Kebetulan waktu itu masih tepat pukul 16.30
WIB, masih ada sisa beberapa menit mendekati Adzan Maghrib. Kemudian, waktu itupun
kugunakan untuk menenangkan pikiranku sejenak dibawah pohon rindang dengan
angin sepoi-sepoi yang membuat pikiran dan hati ini menjadi tentram.
Dengan suasana yang hening, tak terasa suara detik yang terus
berjalan terdengar suaranya dari jam tanganku sampai ke telingaku. Aku pun
bergegas untuk persiapan menunaikan ibadah sholat berjama’ah di masjid terdekat.
Eh, ternyata ada mushola di belakang taman atau lokasi saat saya lagi bersantai
tadi, segera aku parkirkan sepeda motorku di tempat yang sebisa mungkin aman.
Setelah berwudhu sebelum masuk ke mushola, saya membuka
pintu mushola tersebut dan masih sepi tidak orang pun didalamnya, ketika saya
berjalan mengitari tembok mushola tersebut karena saya lihat bangunannya cukup
menarik dan nyaman dilihat, saya sempat kaget karna ada anak kecil yang masuk
tanpa mengucap salam. Karena saya merasa bukan orang situ, juga penasaran sama
anak tersebut, akhirnya saya pun menyapanya terlebih dahulu.
“Assalamu’alaikum dik...”
“Wa’alaikum salam...”
“Maaf dik, kenalkan, namaku Mas Udin, nama kamu siapa dik?”.,
tanyaku kepada anak tersebut. “Namaku
Hadi mas”., jawab dia.
“Adik pengurus mushola ini kah?” tanyaku ke dia
“Oh, bukan mas, saya bukan pengurus masjid ini mas, saya
yang biasanya adzan disini mas”
Dalam
hatiku berkata, “Ah, masa sih anak kayak gini bisa adzan? Penampilannya aja
kayak gini (pakaian kaos celananya jeans,
seperti anak nakal), paling suaranya ya gak enak didengar”
“Mas, saya tak Adzan dulu ya?”,
sahut dia kepadaku,
“Oh, iya dik, silahkan..”
...Allahu
Akbar, Allahu Akbar . . . . . . . . . Laa ila ha ilallaah...
(Subhanallaah, Adzannya seperti yang di
tivi-tivi, apakah benar itu tadi suaranya anak itu) gumamku dalam hati,
tercengang setelah mendengarkan Adzan anak tersebut. Setelah selesai Sholat Maghrib berjama’ah, akupun bergegas
hendak menemuinya dan berdialog dengannya
UdinBro : Dik.
Hadi : Iya mas.
UdinBro : Kamu sekolah mana?
Hadi : Di MI Romly Tamim sini mas, kenapa mas?
UdinBro : Tidak dik, mas hanya tanya aja. Eh dik, suara
kamu merdu dik.
Hadi : Enggak mas, biasa aja kok
UdinBro : Lain kali mas ajari ya dik? Mas pingin bisa
adzan seperti kamu dik.
Hadi : Siap mas, Insya Allah.
Setelah itu, akupun meminta maaf kepada anak tersebut,
karena sebelumnya aku sudah merendahkannya akan kemampuan adzannya dan selanjutnyapun
aku sering mengajaknya ketemuan untuk mengajariku adzan di mushola tersebut
setiap hari sepulang kerjaku.
Sudah
hampir 1 bulan saya belajar adzan dari anak tersebut yang masih duduk di kelas
VI saat itu. Tak banyak yang bisa kuberikan kepadanya yaitu ucapan terima kasih
kepadanya dan menraktirnya sebagai wujud rasa terima kasih dan menghargai
sesama kepadanya.
Saat
tidur malam, aku terbangun jam 02.50 WIB, membuatku semangat untuk adzan di
pagi hari waktu Subuh. Akupun segera mandi dan berpakaian semenarik mungkin
untuk beribadah di masjid kampung rumahku. Saat itu ada yang aneh dalam hatiku,
tiba-tiba aku mengeluarkan sepeda motor, yang seolah-olah hatiku menyuruhku
untuk sholat di masjid lain. Akhirnya akupun mengikuti apa kata hatiku.
Ku lalui
jalanan yang gelap hanya dengan segumpal cahaya pada kaca yang ada didepan
sepeda motor, tak terasa akupun berhenti di suatu masjid yang dimana jarak
antara masjid tersebut dengan rumahku sangatlah jauh.
Sesampai sana, aku bergegas
berwudhu sebelum masuk masjid, kemudian seperti biasa, aku harus menemui takmir
atau penjaga masjid untuk mendapatkan ijin Adzan Subuh di masjid tersebut.
bersambung . . . . . .



0 komentar:
Posting Komentar